Jumat, 08 April 2016

JANGAN MENCELA MAKANAN

JANGAN MENCELA MAKANAN

Tentu kita tidak menyangkal bahwa kenikmatan Allah SWT tiada terkira. Bahkan makanan minuman sangat bervariasi sudah menjadi kewajiban seorang muslim untuk menghargai nikmat-nikmat tersebut dan mensyukurinya. Kendatipun makanan yang tersedia sepele celaan tidak layak muncul dari bibir seorang muslim.

Demikian juga ketika makanan atau minuman tidak menggugah selera atau mengundang ketidaksukaan karena cita rasanya yang kurang tajam, bentuknya yang tidak menarik atau bahan-bahan yang dirasa tidak bergizi. Namun cacian tetap saja tidak sepantasnya dikeluarkan.

Rasulullah SAW tidak pernah mencela makanan, keteladanan Nabi Muhammad SAW dalam masalah ini. Beliau tidak pernah mengeluarkan komentar miring sekalipun terhadap masakan atau makanan yang tidak disukanya. Dari Abu Hurairah ia berkata: “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah mencela makan sama sekali, jika beliau selera maka beliau memakannya dan jika tidak selera maka beliau tinggalkan.” (HR. Ahmad 9755, Bukhari 3563 dan Muslim 5504).

Jangan berfikir mencela makanan hanya terkait penilaian enak, tidak enak, menjijihkan atau komentar miring lainnya. Ternyata lebih dari itu sebatas menyebut asin, kurang asin, kemanisan, kecut dan lain sebagaina. Yang umum di masyarakat kita ternyata masuk dalam cakupan hadis, Imam An Nawawi menjelaskan hadis ini sebagai berikut: “Tidak mencela makanan termasuk adab makan yang ditekankan. Dan mencela makanan yaitu seperti ia berkat: “Ini keasinan”, “Kurang asin”, “kecut”, “Terlalu lembut”, “masih kasar”, “belum masak”, dan yang semisalnya.” (Al Minhaaj Syarh Shahih Muslim 14/26).

Meskipun dalam kondisi secara normal umumnya manusia mengomentari makanan, namun Nabi Muhammad SAW tetap istiqomah tidak mengomentarinya.

Ini kita bisa terlihat ketika beliau disuguhi daging dhob. Ibnu Abas mendapatkan informasi dari Khalid Bin Walid bahwasannya Khalid pernah bersama Nabi Muhammad SAW menemui Maimunah atau istri Nabi, dan maimunah adalah bibinya Khalid dan bibinya Ibnu Abas. Ketika itu dirumah Maimunah ada daging dhob  atau kadal gurun yang dipanggang lalu dhob itupun dihidangkan kepada Nabi Muhammad SAW namun Rasulullah SAW tidak mau menyentuh dhob. Khalid bertanya: “Apakah dhob itu haram ya Rasulullah?” Rasulullah SAW menjawab: “Tidak, namun dhob ini tidak ada dikampungku, sehingga aku kurang berselera.” Khalid berkata: “Akupun mengambilnya lalu menyantapnya dan Rasulullah SAW hanya memandangku.” (HR. Bukhari 5391).

Mungkin bagi orang biasa ia bisa menjawab dengan sedikit komentar miring seperti saya jijik, saya enek, ngeri dan sejenisnya. Namun Nabi Muhammad SAW tidak melakukan sikap tersebut meupakan keagungan dan keluhuran akhlak Rasulullah SAW.

Beliau menghormati perasaan orang yang memasak atau orang yang membuatnya. Rasulullah SAW tidak suka mencela hasil kerja orang yang membuatnya, karena dapat menyakiti hati yang membuatnya. Disisi lain tidak menutup kemungkinan ada orang lain ada yang menyukai makanan tersebut. Hadis tersebut juga mengajarkan sikap satria dalam menghadapi makanan yang tidak disuka yaitu dengan cara menyentuh dan mennggalkannya.

Selain itu bentuk penghargaan lain terhadap makanan walaupun tidak selalu dilakukan yaiu Rasulullah SAW memuji makanan-makanan. Terdapat suatu riwayat beliau bertanya kepada keluarganya tentang lauk yang tersedia, keluarga beliau menjawab: “Kami tidak mempunyai apa-apa kecuali cuka.” Maka beliau meminta untuk disediakan dan mulai menyantapnya. Lantas berkat: “Sebaik-baiknya lauk adalah cuka.” (HR. Muslim).

Pujian sebagaimana hadis tersebut bisa bermakna pujian kepada objek makanan, bisa ditunjukan untuk menghibur keluarga. Tetapi tidak mengurangi peran penting cuka yang memang memiliki banyak manfaat, begitulah sekelumat kisah Rasulullah SAW berkaitan dengan makanan yang menjadi kebutuhan penting bagi keberlangsungan hidup manusia.

Beliau tidak mencela dan selalu bersikap qona’ah atau menerima dengan apa yang tersedia untuk bisa seperti beliau memang tidak sepenuhnya mungkin. Namun setidaknya kita bisa, jadikan beliau sebagai standar akhlak yang terpuji yang untuk bisa sampai pada tingkatan itu tentu kita butuh belajar terus menerus.

Semoga Allah membimbing kita untuk lebih mudah mengikuti sunah-sunah beliau.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar